Minggu, 13 Desember 2009

LAGU MUKTAMAR 1 ABAD MUHAMMADIYAH


MUKTAMAR MUHAMMADIYAH 1 ABAD

Lagu : Dwiki Darmawan
Syair: Din Syamsuddin

Seabad gerak waktu
Sang Surya bersinar selalu
dalam berkat rahmatMu
cerahi peradaban mutu

Jutaan insan bersatu
ribuan amal berpadu
dalam lingkar syahadat
bawa Islam penuh rahmat

Ke Jogja kita kembali
Abad kedua kita mulai
tekad membaja di hati
walau jalan mendaki

Ayo bergandengan tangan
hadapi sgala tantangan
gerakkan lasykar zaman
jayalah masa depan

Muhammadiyah satu abad
saat kita bergembira
atas segala nikmat
cabang ranting semua bersua

Sabtu, 31 Oktober 2009

Fakta-Fakta Kemunafikan Polri dalam Mengasuskan Bibit dan Chandra

Fakta-Fakta Kemunafikan Polri dalam Mengasuskan Bibit dan Chandra
2009 Oktober 31
tags: Bibit Samad Rianto, Chandra M. Hamzah, cia, cicak melawan buaya, Erry Riyana Hardjapamekas, indonesia, kpk
by nusantaraku
Pendahuluan

Erry Riyana Hardjapamekas, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2003-2007 meminta kepada polisi agar dirinya ditetapkan sebagai tersangka serta ditahan. Ia mengaku pernah melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan dua pimpinan KPK nonaktif, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah. Permintaan itu telah disampaikannya melalui surat yang ditujukan kepada Kabareskrim Komjen Susno Duadji pada 30 Oktober 2009.

Menurut dia, sebagian besar pimpinan KPK termasuk mantan pimpinan pernah melakukan hal serupa yaitu mengeluarkan perintah pencekalan dan pencabutan pencekalan terkait proses penyelidikan dan penyidikan di KPK secara individual maupun kolektif. “Sehingga layak ditetapkan sebagai tersangka,” katanya. Jika polisi konsisten dengan kebijakan hukum, ia bersedia ditahan karena menjalankan tugas sebagai pimpinan sesuai UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. (Kompas)

Apa yang disampaikan oleh Pak Erry merupakan pernyataan yang tegas sekaligus pesan yang tajam kepada Polri. Tindakan melakukan pencekalan, pencabutan pencekalan untuk proses penyidikan merupakan wewenang penuh oleh pimpinan KPK selama alasan cekal/cabut cekal harus dapat dipertanggungjawab secara hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia. Bahkan selama menjabat sebagai pimpinan KPK 2003-2007, Pak Erry dalam wawancara di Metro TV mengaku bahwa dirinya juga seperti mantan pimpinan KPK lainnya pernah membuat keputusan baik secara individual maupun kolektif (bersama 1, 2, 3 atau 4 pimpinan lainnnya). Hal ini terjadi karena tugas yang besar (banyak) dan mobilitas yang tinggi, maka untuk menghadirkan kelima pimpinan untuk setiap keputusan (dari kecil hingga besar) menjadi kendala besar. Ini menjadi persoalan dilematis atas definisi ‘kolektif’ seperti dalam UU KPK.

Saya katakan dilematis karena tugas yang diemban KPK sangatlah besar dan banyak. Kasus korupsi yang harus ditangani bertumpuk. Satu kasus demi satu kasus terus muncul, sedangkanpenyelesaian kasus selalu menghadapi kendala untuk menghadirkan bukti sebanyak mungkin yang valid. Dengan adanya definisi “kolektif’ dalam UU 30/2002, maka secara langsung telah membatasi kewenangan pimpinan KPK agar tidak menggunakan sewenang-wenang demi kepentingan pribadi/golongan.

“Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (red: 1 ketua + 4 wakil) bekerja secara kolektif” – (Pasal 21 Ayat (5) UU 30 Tahun 2002 tentang KPK)

Atas Nama Penegakan Hukum?

Baik Chandra M Hamzah maupun Bibit Samad Rianto membuat keputusan secara individu dalam penetapan cekal dan cabut cekal masing-masing kepada Anggoro Widjaja dan Joko Tjandra. Meskipun alasan mencekal Anggoro Widjaja dalam kasus SKRT dan mencabut cekal Joko Tjandra dalam kasus Artalyta Suryani sudah tepat dalam ranah pemberantasan tindak pidana korupsi, namun pihak kepolisian merasa sangat berkeberatan. Sebagai penegak hukum, Polisi ingin menegakkan UU 30 Tahun 2002 tegak berdiri secara sempurna di muka bumi Indonesia tanpa kecuali. Meski secara pribadi Bibit dan Chandra (B&C) bertindak untuk memberantas korupsi, namun mereka salah prosedur, karena berjalan secara sendiri-sendiri.

Dari sisi ini, saya sangat salut dan menaruh hormat besar kepada Polri yang sudah begitu cermat, telatan dan tegas menegakan hukum sampai hal-hal terkecil, hal-hal mendetail terhadap UU 30 tahun 2002. Bahkan Polri juga ingin menegakkan UU 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor yakni Pasal 23 : “Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 6 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp. 300.000.000.“. Dengan matanya yang tajam, Polri menilai bahwa B&C melanggar pasal 422 KUHP : “Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memaksa orang supaya mengakui, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.“

Jika kita melihat usaha ini, maka sungguh mulialah polisi itu. Sungguh mulialah pak Susno Duadji. Sungguh mulia pula Pak Hendarman, meskipun memberi keterangan palsu. Sungguh mulia pula pak Nanan Sukarna meskipun data yang disampaikan ke publik tidak benar. Sungguh mulia juga tim Bareskrim Polri yang memberi pelajaran bagi B&C yang turut serta mempidana mantan Kapolri Rusdihardjo yang bertanggungjawab atas pungli kepada TKI&TKW di Malaysia.
Fakta dan Keanehan

Fakta yang nyata adalah Bibit Samad Rianto melakukan pencabutan cekal pada Joko Tjandra karena sebelumnya KPK memperkirakan terjadi aliran USD 1 juta (Rp 10 miliar) dari Joko Tjandra kepada Arthalyta Suryani. Namun ternyata dana Rp 10 miliar dari Joko Tjandra, sang buronan koruptor ini mengalir ke Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (YKDK) milik Mars. (Purn) TNI Djoko Suyanto, Mantan Kapolri Jend (Purn) Sutanto, dan mantan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dan mantan Ketua KADIN MS Hidayat. Keempat Dewan Pembina YKDK ini karena telah berjasa terhadap SBY, setidaknya Djoko Suyanto dan Sutanto menjadi tim sukses kampanye SBY Boediono diangkat menjadi menteri Kabinet Indonesia Bersatu.

Hal yang paling menjijikkan adalah Djoko Suyanto tidak tahu bahwa ada aliran Rp 10 miliar (USD 1 juta) dari buronan korupsi Joko Tjandra. “Bukan pribadi, saya tak tahu menahu. Soal dana masuk ke yayasan saya tidak tahu, itu urusan yayasan,” kata Djoko Suyanto saat dihubungi VIVAnews, Kamis 1 Oktober 2009. Kalau cuman Rp 10.000 dan Anda tidak tahu, itu adalah hal wajar tapi ini Rp 10 miliar!!!

Berbeda dengan Bibit Samad Rianto, Wakil Ketua KPK (non-aktif) Chandra M Hamzah justru melakukan pencekalan terhadap Anggoro Widjaja. Anggoro Widjaya merupakan Direktur PT Masaro Anggoro yang menjadi tersangka dalam kasus suap korupsi SKRT di berbagai instansi pemerintahan (dari Departemen Kehutanan hingga Kepolisian). Jika dalam kasus Joko Tjandra ada hal yang aneh, maka kasus Anggoro Widjaja sama anehnya.

Pada 22 Agustus 2008, Chandra M Hamzah atas nama KPK melayangkan surat cekal terhadap Anggoro Widjaja. Setelah penyusutan yang lebih lengkap selama hampir 10 bulan, akhirnya pada 19 Juni 2009, Anggoro Widjaja resmi menjadi tersangka kasus korupsi ‘kompleks’ (dari sebelumnya terlibat dalam SKRT, lalu terungkap kembali pada kasus lain yakni kasus penyuapan Tanjung Api-Api. Menambah bukti). Ketika masih berstatus tersangka, Pak Susno Duadji alih-alih menemui buronan KPK ini di Singapura pada tanggal 11 Juli 2009. Meskipun tindakan Susno Duadji ini salah, namun petingi Polri melalui Kadiv Humas Polri Nanan Sukarna justru melakukan pembohongan publik. Nanan membela bahwa Susno tidak bersalah karena status Anggoro sebagai saksi Polri, padahal Anggoro dijadikan saksi Polri pada Agustus 2009. Satu kebohongan sekaligus kemunafikan Polri! Ini menjadi awal dari rangkaian fakta- fakta kemunafikan polri yang ingin saya ungkapkan!

Menilik sebentar kebelakang. Jauh-jauh hari, Ketua MK Mahfud MD atas nama pribadi (bukan a.n lembaga) lebih melihat bahwa salah atau benarnya prosedur yang dilakukan B&C dalam konteks pengeluaran keputusan cekal dan cabut cekal lebih tepat dibawa ke pengadilan tata negara, bukan pidana. Bisa dikatakan bahwa 90% tindakan yang dilakukan B&C dalam cekal dan cabut cekal pada Joko T dan Anggoro W sudah tepat. Meski kesalahan tetap ada, namun konteknya bukanlah pidana, tapi lebih pada perdata. Sampai saat ini, bukti-bukti dan saksi yang selama ini menjadi andalan polisi telah menyatakan B&C tidak melakukan pemerasan, tidak pula menerima suap.

Sampai uraian disini, maka kita bisa memaklumi bahwa tindakan polisi untuk menetapkan B&C sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang atas nama ‘penegak hukum’ tingkat tinggi. Kepolisian sudah memiliki waktu yang begitu banyak dan lenggang untuk menegakkan hukum di negeri ini sehingga bisa begitu semangat dan giat mencari kesalahan para petinggi KPK yang salah prosedural.
Kemunafikan-Kemunafikan Atas Nama Penegakan Hukum

Pihak Bareskrim Polri yang bisa begitu semangat mencari seluk beluk kesalahan dalam bentuk apapun yang dilakukan pimpinan KPK merupakan prestasi besar. Atas inisiatif sendiri, Bareskrim Polri meminta Antasari untuk melaporkan rekannya yang diduga melakukan suap, lalu berubah statusnya menjadi dugaan penyalahgunaan wewenang. Ini merupakan semangat luar biasa dari Bareskrim Polri yang pantang menyerah untuk menindak petinggi KPK yang ‘nakal’.

Tindakan polri ini akan menjadikan prestasi besar nan agung dengan satu catatan saja. Apa itu? Jika Polri telah melakukan hal yang sama terhadap kasus-kasus yang kasat mata, yang dampaknya lebih besar bagi bangsa dan negara Indonesia. Sebut saja kasus Lumpur Lapindo, Pembalakan Liar Hutan Riau, Tindak Pidana Pilkada Jawa Timur, Pungli atas Penjualan CD/DVD Bajakan, Perjudian hingga pidana dana kampanye Pilpres 2009 silam. Apakah Polri sudah begitu gentol mencari bukti kesalahan sedetil kasus B&C?

Jika kita telusuri pemberitaan media dan mencari fakta-fakta lapangan atas kasus-kasus seperti saya sebutkan diatas, lalu kita bandingkan dengan kasus B&C, maka hanya ada satu kata yang tepat untuk Polri khususnya Bareskrim Polri : MUNAFIK!. Bareskrim Polri telah terlalu munafik mengasuskan Bibit dan Chandra. Polri mencari kesalahan yang detil dan abu-abu untuk B&C, sementara kasus-kasus besar yang merugikan negara dan bangsa yang sangat kasat mata tidak ditindak dan follow up segentol kasus B&C. Ha….Kuman di seberang laut nampak, gajah di kelopak mata tidak nampak, peribahasa yang tepat untuk disandangkan kepada segelintir petinggi polri yang terlalu bernafsu dan terlihat munafik.

Untuk menghemat waktu dan membatasi panjang artikel, saya hanya membuat 1 fakta komprehensif kemunafikan Polri yang tidak berusaha mencari fakta-fakta dan bukti kasus-kasus besar serta beberapa fakta tambahan non-komprehensif.

Bareskrim Polri Munafik, Tidak Menindaklanjuti Pelanggaran Pidana Dana Kampanye Pilpres 2009

Dalam UU 42 Tahun 2009 tentang Pilpres 2009, secara jelas menggariskan apa dan bagaimana dana kampanye pasangan calon presiden-wakil presiden dapat diterima, digunakan dan dipertanggungjawabkan. Dalam pasal 96 melarang sumbangan dana kampanye dari perorangan melebihi Rp 1 miliar (ayat 1) dan tidak boleh melebihi Rp 5 miliar dari dari kelompok, perusahaan, atau badan usaha non-pemerintah (pasal 2). Untuk pasal 96 ini, pasangan SBY-Boediono dapat dijadikan tersangka karena menerima dana kampanye dari perusahaan afiliasi menyumbang sebesar Rp 8.5 miliar (lebih dari Rp 5 miliar seperti diatur UU) dengan rincian PT Northstar Pasific Investasi (Rp 1 miliar) + PT Northstar Pasific Capital (Rp 1 miliar), PT Sumber Alfaria Trijaya (Rp 3,5 miliar), dan PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (Rp 3 miliar).

Meski datanya sudah jelas, namun polri seperti mati ditelan bumi. Tidak bergeming, tidak ada usaha mencari bukti kesalahan. Tidak ada usaha menyelidiki kasus yang besar ini. Ini bukti kemunafikan polri yang lain, padahal bagi yang melanggar pasal 96 (2) secara jelas akan mendapat sanksi pidana 6-12 bulan dan denda Rp 1 miliar – Rp 5 miliar seperti ditegaskan dalam Pasal 220 UU 42/2008.

Pasal 103 (1) : Pasangan Calon dilarang menerima sumbangan pihak lain yang berasal dari:
a. pihak asing;
b. penyumbang yang tidak benar atau tidak jelas identitasnya (NPWP);
c………….

Pasal 103 (2) Pelaksana Kampanye yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPU dan menyerahkan sumbangan tersebut ke kas negara paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa Kampanye berakhir.

Sanksi Pasal 103 (1) dan 103(2 diatur Pasal 222 (1) dan 222 (2) : pidana 1-4 tahun dan denda 3 kali dari dana yang diperoleh.

Siapa yang melanggar?

Dalam penjelasan UU 42/2008 pasal 103 (1), yang dimaksud dengan “pihak asing” meliputi negara asing, lembaga swasta asing termasuk perusahaan swasta yang ada di Indonesia dengan sebahagian sahamnya dimiliki oleh pihak asing, lembaga swadaya masyarakat asing, dan/atau warga negara asing.

Bila pasal 96 hanya menimpa pada pasangan SBY-Boediono, namun pada pasal 103 semua calon diduga melanggar. Secara tertulis dan laporan komprehensif, Bawaslu sebagai Badan resmi Pengawas Pemilu melaporakn ketiga pasang capres-cawapres kepada instansi polisi untuk diproses. Namun, dasar MUNAFIK, Bareskrim Polri justru men SP3 kasus pelanggaran dana kampanye ini. Salah satu alasan logis mengapa Bareskrim tidak nemindaklanjuti kasus ini karena kasus ini membawa nama penguasa, terutama nama bos-nya SBY-Boediono, disamping Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto.

Bagi mereka yang peka dengan penegakkan hukum yang jelas-jelas kasat mata, maka ketika mereka membaca berita di bawah ini, lalu bandingkan dengan usaha Bareskrim Polri yang berusaha mencari kesalahan pimpinan KPK, maka saya berani mengatakan “Bareskrim Polri MUNAFIK“

* Suryaonline : Soal Pelanggaran Dana Kampanye, Polri SP3 Bareskrim Tak Gubris Bawaslu
* Tempo : Polisi Hentikan Kasus Dana Kampanye Tanpa Alasan Jelas
* MediaIndonesia : Upaya Bawaslu Pidanakan Tim Kampanye Gagal

Bareskrim Mabes Polri menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terkait dugaan pelanggaran dana kampanye atas laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Penghentikan perkara penyidikan menimbulkan kecurigaan, lantaran tanpa ada keterangan jelas dari Bareskrim. Hal itu menyebabkan, Bawaslu kecewa dengan kinerja Kepolisian.

Dalam surat yang ditandatangani Direktur I Keamanan Transnasional Badan Reserse Kriminal Brigadir Jenderal Bachtiar Tambunan itu, kata Tio, tak disebutkan alasan penghentian penyidikan. Surat itu hanya menyebutkan, “Penyidikan dihentikan sejak 2 Oktober 2009 demi hukum,” katanya. (surya)

1. Megawati-Prabowo : menerima sumbangan dari PT Kertas Nusantara yang 70 persen sahamnya dimiliki oleh pihak asing.
2. SBY-Boediono : Wakil Ketua dan Bendahara Tim Kampanye SBY-Boediono, yaitu Djoko Suyanto (sekarang jadi Menko Polhukam!) dan Garibaldi Thohir. Djoko dan Garibaldi bertanggung jawab atas revisi perubahan laporan dana kampanye. Dalam laporan pertama, tim kampanye (SBY-Boediono) mengakui menerima sumbangan dari PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional yang sebagian besar sahamnya juga dimiliki asing. Tapi, belakangan nama BTPN tak muncul dalam laporan yang diserahkan ke kantor akuntan publik.
3. JK-Wiranto : Ketua dan Bendahara Tim Kampanye JK-Wiranto, yaitu Fahmi Idris dan Solichin Kalla bertanggung jawab atas penerimaan yang tak dicatat dalam laporan dana kampanye Jusuf Kalla-Wiranto.

Sebagai rakyat biasa, saya sangat kecewa. Anda bisa melihat begitu jelas bahwa kasus Prita tidak lebih besar dari kasus pidana miliaran rupiah. Bukti kasus pelanggaran dana kampanye tidak seabu-abu kasus B&C. Apakah hukum hanya suatu permainan? Apakah dua pimpinan KPK sengaja harus ‘dimatikan’ agar mereka tidak menyentuh kasus dana kampanye???

Kasus pidana dana kampanye Pilpres 2009 yang tidak ditindaklanjuti oleh Bareskrim Polri hanyalah salah satu contoh dari sekian contoh kemunafikan polri dalam memroses hukum yang diskriminatif. Ketika berhubungan kasus para penguasa dan ‘majikannya’, polri hanya bersembunyi dan berkilah ‘tidak ada bukti lanjutan’, dan “batal demi hukum”. Ketika ada pihak yang berjuang untuk membasmi koruptor, justru Bareskrim Polri membantai mereka-mereka.

Selain kasus pelanggaran dana pilpres 2009, ada sejumlah kasus dimana Polri justru tidak berusaha maksimal mencari bukti memidanakan kasus yang sangat kasat mata. Sebut saja kasus Pembalakan Liar di Riau. Ketika Irjen Sutjiptadi, Polisi Pemberani “Sang Visioner” sang Kapolda Riau yang dikenal anti pembalakan liar menjabat, justru ia ditekan oleh pembantu SBY yakni MS Kaban. Hal ini terjadi karena Irjen Sutjiptadi begitu gentol memroses dan menyelidiki para pelaku (dari pejabat, aparat/polri hingga pengusaha) yang ikut terlibat dalam kasus illegal logging di Riau. Bukan didukung atau diapresiasi, justru Kapolri dengan hitungan bulan memecat (istilah halus: mutasi) beliau dari kursi Kapolda Riau setelah MS Kaban meminta Kapolri untuk memecat. MS Kaban gerah karena Irjen Sutjiptadi telah mengendus keterlibatan pejabat tinggi yang terlibat dalam illegal logging di Riau. Mereka diantaranya adalah Menhut MS Kaban dan Gubernur Riau Rusli Zainal.

Kasus yang serupa menimpa Irjen Polisi Herman SS (Eks. Kapolda Jatim) yang begitu semangat memroses kasus pelanggaran pidana kampanye di Jawa Timur. Sekali lagi, ia kandas ditangan penguasa. Segelintir petinggi Polri yang berdedikasi akhirnya kandas mengabdi ketika diintervensi oleh petinggi Polri di pusat. Kasus-kasus besar seperti pembalakan liar bukan dicari buktinya, justru orang yang berusaha mencari bukti akhirnya dimutasi. Suatu prestasi yang tidak akan terlupakan!

Kemunafikan Bareskrim Polri semakin menguak taktala kita menemukan cerita lucu polri yang tidak bisa mencari bukti mamadai tindak pidana kasus Lumpur Lapindo. Padahal, pelanggaran SOP dalam pengeboran sudah menjadi salah satu langkah awal polisi untuk memroses kasus hukum. Tapi yah begitulah…

Selama penegakan hukum dilakukan secara diskriminatif, selama hanya memroses kasus hukum B&C yang abu-abu, sementara kasus dana kampanye Pilpres yang kasat mata tidak ditindaklanjuti, maka kata MUNAFIK pantas dialamatkan kepada pejabat Polri yang sok menegak hukum, terutama pejabat di Bareskrim Polri yang didukung Kapolri beserta jajarannya.

Terus Bertahan dan Berjuang Pak Bibit dan Chandra!
Biar Anda tidak ditahan agar tidak melakuan konferensi pers, Biarlah kami yang membentuk opini masyarakat dan membongkar fakta kemunafikan orang yang berusaha mencari kesalahan ‘aneh’ Anda’.

Jika para tokoh nasional menjamin diri mereka untuk pak B&C, maka saya hanya bisa menjamin bahwa saya bertanggung jawab pada kritik keras saya pada tulisan ini.

Salam Perjuangan,




http://nusantaranews.wordpress.com/2009/10/31/fakta-fakta-kemunafikan-polri-dalam-mengasuskan-bibit-dan-chandra/

Selasa, 04 Agustus 2009

Pesan KHA Dahlan

KH. Ahmad Dahlan: Semangat Ber-Muhammadiyah



KH. Ahmad Dahlan Berkata:

“Mengapa engkau begitu bersemangat saat mendirikan rumahmu agar cepat selesai, sedangkan gedung untuk keperluan persyarikatan Muhammadiyah tidak engkau perhatikan dan tidak segera diselesaikan?”



Sumber:

Mulkhan, Munir, Prof. Dr. SU. 2007. Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah.

Minggu, 26 Juli 2009

Selamat Datang Neoliberalisme

Neo Liberalisme

Indonesia adalah negara yang selama ini dikenal dengan negara yang agraris, kaya, penuh dengan Suber daya alam mulai emas, perak, tembaga, batu bara, timah, minyak, dll. itu semua tersebar dari sabang sampai merauke.

Namun setelah 64 tahun Indonesia merdeka, baru sedikit rakyat yang mengalami arti "kemerdekaan". mereka masih "terjajah" dalam keadaan yang memperihatinkan. masyarakat Indonesia mengalami kemiskinan, gizi buruk dan bahkan juga 30% rakyat Indonesia berada dalam garis kemiskinan.

itu semua disebkan karena semua kekayaan yang kita miliki tidak dapat dinikmati oleh rakyat dan juga karena adanya korupsi. Neo liberalisme telah menjerat 220 juta rakyat Indonesia untuk hidup susah. bayangkan kita yang selama 32 tahun berada dalam tangan Orde baru hanya bisa mengeluh dan mengeluh. karena semua sebagian besar kekayaan Nasional dibawa ke jakarta. setelah pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi IMF mulai datang.

dengan berdalih akan menolong dan menyelamatkan ekonomi kita maka IMF, WTO, World Bank, ADB mendekte dan terus menginfasi ekonomi kita tanpa ampun. negara Indonesia yang selama ini dikenal dengan ekonomi kerakyatan pancasila yang intinya untuk mensejahterakan rakyat akan sirna.

BUMN yang selama ini menjadi pemasukan divisa negara kita dijual atas nama kepentingan Asing. kekayaan alam Indonesia di Eksplorasi dan dikembangkan oleh asing atas tekanan para Neolib yang kurang ajar.

Indonesia seakan hanya menjadi kuli di negara sendiri. karena yang sekarang memimpin juga di indikasikan kearah yang sama. Lalu sampai kapan hal ini akan berakhir ???


jawabanya jika ada pemimpin yng mampu membawa perubahan akan datang dan mau mengatakan tidak "TIDAK" pada pada asing...

Jumat, 27 Februari 2009

sinetron harem

Beberapa waktu yang lalu saya menonton sinetron Harem yang ditayangkan di Indosira. Sinetron itu katanya "Religi". Hmmmm Benarkah itu ????
Namun dalam kenyataanya jauh dari ajaran Islam yag sebenarnya yaitu melakukan adegan pukul, tampar, cekik, kata2 kasar seperti (bajingan, brengsek, kurang ajar,dll). sinetron ini juga inetron ini ga lebih sebagai alat propaganda untuk menjelek jelekan Islam, dan menambah stereotipe negatif pihak luar yang tak mengenal islam. Islam hanya akan cap sebagai " agama Kekerasan ".
Sinetron ini tidak mendidik, dan jauh dari norma, adat, budaya Indosesia. Bahkan KPI Minta Indosiar Perbaiki Sinetron ‘Hareem’, Sinetron Berbaju Islam tapi menyerang Islam.
Sinetron ini sepertinya memang dibikin Kontroversi agar masyarakat Indonesia timbul pro dan kontra sehingga scr tidal langsung akan menaikan rating dan iklan akan masuk banyak DALAM SINETRON ITU dan nanti ujung2nya Duit. atau motif ekonomi jelas sangat dalam sinetron ini...
Sinetron ini memnag religi namun tuhan yg dianut oleh produser,, sutradara ini bukan Allah SWT seperti Tuhan orang Islam.. melainkan Uang

Sistem Rating Tidak Mencerminkan Tontonan Masyarakat

Sistem rating dan share yang dipakai untuk menentukan program-program di TV selama ini tidak sepenuhnya mencerminkan tontonan masyarakat. Pada tahun ini konon rating yang paling banyak adalah tontonan cinta remaja dan seputar horor. Hampir semua stasiun TV berlomba-lomba menampilkan tayangan-tayangan yang hanya mengejar rating saja.

Jika tayangan tersebut ratingnya naik dan ditonton banyak masyarakat, maka otomatis iklan yang masuk diwaktu acara tersebut akan bertambah dan keuntungan dari acara tersebuat akan naik. Cara berpikir kapitalisme yang selalu dipakai oleh bangsa barat yang kemudian dipakai dan ditiru oleh para penguasa didalam lingkaran media yang ada di tanah air.

Salah satu contonya adalah ketika bulan Ramadhan beberapa waktu lalu. Hampir semua stasiun TV menampilkan acara sahur yang tidak bermutu tidak mendidik, tidak bermoral seperti Saatnya Kita Sahur di Trans TV, Empat Mata Sahur di Trans 7, Stasiun Ramadhan (STAR) di RCTI, dan masih banyak tayangan yang sejenis. Hampir semua isi tayangan didalam acara tersebut sama. Yaitu didalamnya terdapat acara hura-hura tentang obrolan, guyonan, tingkah laku yang kasar yang didalanya ada kuisnya kemudian dibumbui dengan adanya ayat-ayat suci Al-Quran.

Para stasiun TV seperti sudah didekte oleh rating sehingga mereka lupa bahwa mereka itu sedang menampilkan acara untuk acara Religi yang ditonton oleh umat Islam yang akan melakukan sahur, dengan beradegan dan berkata yang jauh dari ajaran-ajaran yang Islami. Mereka hanya memanfaatkan bulan Ramadhan hanya untuk mengeruk keuntungan pribadi mereka tanpa memikirkan aspek agama, social, moral, norma dan nilai didalam tayangan tersebut. Namun Mereka beranggapan bahwa tayangan tersebut mendapat rating yang sangat tinggi dan banyak penonton yang menyukai tayangan seperti itu.

Tayangan-tayangan yang tidak mendidik itu sebenarnya sudah ditegur oleh MUI. MUI berpendapat bahwa lawakan-lawakan slapstick itu tidak ada hubungnnnya dengan Ramadhan dan terlalu memanfaatkan kekuarangan orang sebagai lelucon atau laki-laki yang didandani sebagai perempuan ( Kompas, Minggu, 23 September 2007 ).

Masyarakat sekarang sebenarnya sudah bosan dengan adanya tayangan-tayangan yang tidak mendidik yang terlalu mengekspose terdapat kehidupan yang mewah-mewahan, unsur yang melanggar nilai agama, moral, social. Masyarakat sekarang juga jenuh dengan adanya acara yang tidak bermutu dan tidak bermoral. Namun karena tidak ada alternative pilihan acara yang bagus, dan bermoral maka masyarakat Indonesia mau tidak mau, setuju tidak setuju dan suka tidak suka, harus menonton acara tersebut. Karena memang hanya tayangan itu yang ada didalam masyarak saat ini. SCTV dan Metro TV salah satu contonya yang berani membuat terobosan baru. Kedua stasiun TV tersebut tidak menanyangkan acara yang terdapat acara hura-hura tentang obrolan, guyonan, tingkah laku yang kasar yang didalanya ada kuisnya kemudian dibumbui dengan adnya ayat-ayat suci Al-Quran. Justru mereka menampilkan acara yang mendidik yang sangat berguna dan bermanfaat untuk masyarakat. Metro TV menampilkan acara Tafsir Al-Misbah yang dibawakan KH Quraish Shihab, kemudian SCTV menampilkan sinetron Para Pencari Tuhan.

SCTV banyak mendapat pujian karena menampilkan acara yang sangat sehat dan orisinil yang disukai masyarakat. Didalamnya tidak terdapat kehidupan yang mewah-mewahan, unsur yang melanggar nilai agama, moral, social, dll. Melalui sinetron garapan Deddy Mizwar sinetron Para Pencari Tuhan berhasil sukses didalam masyarakat di Indonesia. Banyak masyarakat setiap hari selama Ramadhan membicarakan sinetron itu di pasar, kantor, sekolah, kampus, bahkan di masjid sekalipun seusai acara sholat taraweh dan kegiatan keagamaan lainnya.

Para Pencari Tuhan sendiri mengisahkan tentang tiga pemuda yang ketiganya adalah mantan narapidana yang ingin bertaubat yaitu nama dalam peran Juki ( mantan pemakai dan pengedar narkoba ), Chelsea ( mantan copet ), dan Barong ( mantan curanmor ). Ketiganya ingin mencari jalan yang benar dan ingin memperdalam ilmu agama Islam. Sinetron garapan PT Demi Gisela Citra Utama ini ceritanya tidak dibuat-buat, berdasarkan realita yang ada di masyarakat.

Dengan adanya program acara Para Pencari Tuhan menjadi alternative pilhan yang bagus yang ada didalam masyarakat. Masyarakat juga meninggalkan menonton acara slapstick yang tidak ada manfaatnya. Jadi tidak sepenuhnya benar jika suatu rating mewakili dan mencerminkan tontonan masyarakat. Karena terbukti Para Pencari Tuhan sukses diwaktu rating tentang acara slapstick yang sangat tinggi, dan ini juga sekaligus menepis bahwa masyarakat Indonesa selalu menyukai tayangan yang hura-hura, mewah-mewahan, yang mengumbar nafsu, tidak bermoral, dll.

Seperti teori Marxisme Klasik, teori ini menganggap bahwa kepemilikan media pada segelintir elit pengusaha telah menyebabkan patologi atau penyakit sosial. Dalam pemikiran ini, kandungan media adalah komoditas yang dijual di pasar, dan informasi yang disebarluaskan dikendalikan oleh apa yang pasar akan tanggung

(Fajar Junaedi S.Sos, M.Si, bahan kuliah Soskom ).

Seperti MNC mempunyai RCTI, TPI, dan Global TV, kemudian Trans Corp mempunyai Trans TV dan Trans 7 yang hampir menyiarkan program sama ketika Ramadhan, dan khususnya ketika sahur bisa dikatakan tidak mendidik.

Sekaramg ini diperlukan dan dibutuhkan tayangan yang sangat sehat yang mendidik, bermanfaat dan mencerdaskan semua lapisan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sekarang sudah meridukan tayangan-tayangan tersebut yang sekarang sudah sangat jarang dan sedikit sekali di Indonesia. Para industri media hanya memikirkan aspek ekonomi saja dengan menarik keuntungan dan pendapatan dari tayangan tidak berpikir dan tidak bertanggungjawab pada aspek moral, sosial, agama, dll.